Oleh
: Apriyanti
Indonesia merupakan negara
agrikultural. Sektor pertanian merupakan sektor terbesar yang menopang
perekonomian Bangsa Indonesia. Dengan adanya faktor pendukung seperti tanah
yang subur serta iklim yang cocok untuk berbagai jenis tumbuhan, maka tak heran
apabila di negeri yang elok ini tumbuh dan berkembang berbagai macam Sumber
Daya Alam, baik hewani maupun nabati. Tak kurang sekitar 30.000 jenis tanaman
dan lebih dari 25000 jenis spesies hewan ada di Indonesia.
Sumber daya alam yang
melimpah merupakan aset berharga bangsa Indonesia. Hasil bumi ini pula yang
dahulu kala membuat bangsa Indonesia menjadi rebutan bangsa-bangsa lain. Melimpahnya
sumber daya alam ini tentu saja diikuti dengan melimpahnya sumber pangan yang
ada di Indonesia. Sebut saja beras, jagung, ubi, sagu, serta singkong menjadi
sumber-sumber bahan pangan di negara ini.
Dari sekian banyak
jenis sumber pangan yang ada di Indonesia, beras merupakan bahan pangan pokok
yang paling dominan dikonsumsi oleh penduduk Indonesia. Presiden Republik
Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono pada acara penerimaan Panitia Hari Pers
Nasional (HPN) 2011 mengemukakan bahwa rata-rata tingkat konsumsi beras penduduk
Indonesia mencapai sekitar 120 kilogram per orang per
tahun. Nilai rata-rata tingkat konsumsi beras ini diperkirakan akan terus
meningkat setiap tahunnya.
Penyebab
utama tingginya konsumsi beras di Indonesia adalah adanya paradigma dari
masyarakat bahwa yang namanya “makan” itu harus menggunakan nasi. Orang
mengkonsumsi roti, ubi, kentang maupun jagung hanya sebagai cemilan.
Terbentuknya paradigma ini mungkin saja disebabkan karena pada jaman orde baru
terdapat kebijakan penyamaan bahan pangan, yaitu beras. Padahal pada jaman
dahulu, makanan pokok masyarakat Indonesia sangat beragam. Namun sekarang bisa
dilihat, penduduk Irian misalnya, sudah jarang sekali yang mengkonsumsi sagu.
Tingginya
tingkat konsumsi beras di Indonesia sebenarnya bukan menjadi masalah yang
berarti jika diimbangi dengan produksi beras yang tinggi pula. Meski pada tahun
1984 badan pangan dunia mengakui bahwa Indonesia mampu berswasembada beras,
namun kenyataannya sekarang Indonesia tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan
beras. Sungguh ironis, di Negara agrikultural dimana penduduknya sebagian besar
mengkonsumsi beras, ternyata Negara ini tidak mampu mencukupi kebutuhan
berasnya sendiri.
Untuk
itulah, akhir-akhir ini Pemerintah dan juga pengamat gizi sedang
gencar-gencarnya mempromosikan program diversifikasi pangan. Diversifikasi
pangan merupakan suatu program penyeragaman bahan pokok non beras. Banyak
alasan kuat yang mendukung lahirnya program ini, seperti semakin tingginya
harga beras sehingga masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan tidak
mampu lagi menjangkau harga beras. Masyarakat kurang mampu pun kembali
mengkonsumsi nasi aking. Alasan lain adalah semakin tingginya angka konsumsi
beras serta tingkat import beras.
Dalam
program diversifikasi pangan, potensi-potensi daerah kembali mendapat
perhatian. Bahan-bahan makanan pokok yang dulu menjadi makanan pokok di daerah
kini kembali dikembangkan. Selain itu, para scientist pun berlomba-lomba untuk
mencari sumber daya alam baru yang dapat digunakan sebagai bahan pangan baru. Diversifikasi
pangan dirasa dapat menjadi salah satu solusi tentang permasalahan pangan di Indonesia.
Salah
satu bahan pangan yang merupakan potensi daerah yang dapat dimanfaatkan adalah
juwawut (Sholikhah,
dkk., 2008). Juwawut atau biasa
juga disebut milet yang memiliki nama latin Setaria
italica merupakan sejenis tanaman serealia berbiji kecil. Tanaman ini menjadi
makanan pokok masyarakat Asia Timur
dan Asia Tenggara sebelum budidaya padi
dikenal orang. Tumbuhan ini adalah yang pertama kali dibudidayakan di antara
berbagai jenis milet dan sekarang menjadi milet yang terluas penanamannya di
seluruh dunia, dan yang terpenting di Asia Timur.
Gambar 1. Tanaman Juwawut
Juwawut telah diketahui
sebagai tanaman sereal sejak lama (5000 SM di Negeri China dan 3000 SM di
Eropa). Sekarang, juwawut telah ditanam diseluruh dunia dan menjadi jenis yang
paling penting di Cina, India dan Eropa bagian tenggara. Di Asia Tenggara,
jenis ini hanya ditanam sewaktu-waktu dalam skala kecil.
Tanaman juwawut
termasuk tanaman keempat setelah padi, gandum, dan jagung yang dikonsumsi oleh
1/3 penduduk dunia (Rachmawati dalam Suherman, dkk., 2010). Tanaman ini
memiliki potensi yang sangat baik sebagai tanaman pangan alternative pengganti
beras ditinjau dari aspek kandungan gizi serta kemampuan tumbuhnya di daerah
beriklim kering. Dilihat dari segi kandungan gizinya, juwawut berpotensi
sebagai sumber energi, protein, kalsium, vitamin B1, riboflavin (vitamin B2),
sedangkan nutrisi lainnya setara dengan beras. Potensi hasil yang dapat dicapai
di Indonesia adalah 4 ton per ha pada kondisi agroekologi yang marginal, dimana
pertumbuhan serealia lainnya kurang berhasil. Juwawut dipanen sebagai tanaman
pangan semusim (Rachmawati dalam Nurmala, 2010). Berikut ini merupakan tabel
kandungan gizi berbagai jenis tepung dalam 100 gram bahan.
Pada biji juwawut, diantara kulit biji dan daging biji dilapisi oleh lapisan testa dan aleuron, Lapisan testa termasuk pada bagian kulit biji, dan lapisan aleuron termasuk pada bagian dari daging biji, jaringan kulit biji terikat erat oleh daging biji, melalui lapisan tipis yang disebut lapisan semen. Pada proses penggilingan, ikatan kulit biji dengan daging biji ini sulit dipisahkan. Komposisi bagian biji juwawut terdiri dari kulit luar 8%, lembaga 10% dan daging biji 82%. Warna biji ini merupakan salah
satu criteria menentukan kegunaannya. Varietas yang berwarna lebih terang akan
menghasilkan tepung yang lebih putih dan tepung ini cocok untuk digunakan
sebagai makanan lunak, roti dan lain-lainnya. Sedangkan varietas yang berwarna
gelap akan menghasilkan tepung yang berwarna gelap dan rasanya lebih pahit (Rachmawati
dalam Laimeheriwa, 2010).
Mengingat begitu besarnya potensi dari juwawut untuk
menjadi makanan alternatif pengganti beras, sudah selayaknya tanaman ini dibudidayakan.
Namun sayangnya tanaman ini kurang mendapat
perhatian. Budidaya tanaman ini masih sangat rendah di Indonesia. Diharapkan
masyarakat serta Pemerintah lebih memperhatikan keberadaan tanaman ini.
Daftar Pustaka
Rachmawati,
Elly Eka. 2010. Peningkatan Viabilitas
(Priming) Benih Juwawut (Setaria italica (L.) P . Beauvois) engan
Polyethylene Glycol (PEG) 6000. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim
Sholikhah,
Fitri Wiwik., Susilowati, Novi Eka., Ikhwatika, Nurul. 2008. Pemanfaatan Millet
Sebagai Bahan Pangan Alternatif dalam Upaya Menanggulangi Kelaparan Masyarakat
Situbondo Jawa Timur. Malang : Universitas Islam Negeri Malang.