Kamis, 24 Oktober 2013

JUWAWUT SANG PRIMADONA KECIL SEBAGAI BAHAN PANGAN ALTERNATIF PENGGANTI BERAS


Oleh : Apriyanti

Indonesia merupakan negara agrikultural. Sektor pertanian merupakan sektor terbesar yang menopang perekonomian Bangsa Indonesia. Dengan adanya faktor pendukung seperti tanah yang subur serta iklim yang cocok untuk berbagai jenis tumbuhan, maka tak heran apabila di negeri yang elok ini tumbuh dan berkembang berbagai macam Sumber Daya Alam, baik hewani maupun nabati. Tak kurang sekitar 30.000 jenis tanaman dan lebih dari 25000 jenis spesies hewan ada di Indonesia.
Sumber daya alam yang melimpah merupakan aset berharga bangsa Indonesia. Hasil bumi ini pula yang dahulu kala membuat bangsa Indonesia menjadi rebutan bangsa-bangsa lain. Melimpahnya sumber daya alam ini tentu saja diikuti dengan melimpahnya sumber pangan yang ada di Indonesia. Sebut saja beras, jagung, ubi, sagu, serta singkong menjadi sumber-sumber bahan pangan di negara ini.
Dari sekian banyak jenis sumber pangan yang ada di Indonesia, beras merupakan bahan pangan pokok yang paling dominan dikonsumsi oleh penduduk Indonesia. Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono pada acara penerimaan Panitia Hari Pers Nasional (HPN) 2011 mengemukakan bahwa rata-rata tingkat konsumsi beras penduduk Indonesia mencapai sekitar 120 kilogram per orang per tahun. Nilai rata-rata tingkat konsumsi beras ini diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya.
Penyebab utama tingginya konsumsi beras di Indonesia adalah adanya paradigma dari masyarakat bahwa yang namanya “makan” itu harus menggunakan nasi. Orang mengkonsumsi roti, ubi, kentang maupun jagung hanya sebagai cemilan. Terbentuknya paradigma ini mungkin saja disebabkan karena pada jaman orde baru terdapat kebijakan penyamaan bahan pangan, yaitu beras. Padahal pada jaman dahulu, makanan pokok masyarakat Indonesia sangat beragam. Namun sekarang bisa dilihat, penduduk Irian misalnya, sudah jarang sekali yang mengkonsumsi sagu.
Tingginya tingkat konsumsi beras di Indonesia sebenarnya bukan menjadi masalah yang berarti jika diimbangi dengan produksi beras yang tinggi pula. Meski pada tahun 1984 badan pangan dunia mengakui bahwa Indonesia mampu berswasembada beras, namun kenyataannya sekarang Indonesia tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan beras. Sungguh ironis, di Negara agrikultural dimana penduduknya sebagian besar mengkonsumsi beras, ternyata Negara ini tidak mampu mencukupi kebutuhan berasnya sendiri.
Untuk itulah, akhir-akhir ini Pemerintah dan juga pengamat gizi sedang gencar-gencarnya mempromosikan program diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan merupakan suatu program penyeragaman bahan pokok non beras. Banyak alasan kuat yang mendukung lahirnya program ini, seperti semakin tingginya harga beras sehingga masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan tidak mampu lagi menjangkau harga beras. Masyarakat kurang mampu pun kembali mengkonsumsi nasi aking. Alasan lain adalah semakin tingginya angka konsumsi beras serta tingkat import beras.
Dalam program diversifikasi pangan, potensi-potensi daerah kembali mendapat perhatian. Bahan-bahan makanan pokok yang dulu menjadi makanan pokok di daerah kini kembali dikembangkan. Selain itu, para scientist pun berlomba-lomba untuk mencari sumber daya alam baru yang dapat digunakan sebagai bahan pangan baru. Diversifikasi pangan dirasa dapat menjadi salah satu solusi tentang permasalahan pangan  di Indonesia.
Salah satu bahan pangan yang merupakan potensi daerah yang dapat dimanfaatkan adalah juwawut (Sholikhah, dkk., 2008). Juwawut atau biasa juga disebut milet yang memiliki nama latin Setaria italica merupakan sejenis tanaman serealia berbiji kecil. Tanaman ini menjadi makanan pokok masyarakat Asia Timur dan Asia Tenggara sebelum budidaya padi dikenal orang. Tumbuhan ini adalah yang pertama kali dibudidayakan di antara berbagai jenis milet dan sekarang menjadi milet yang terluas penanamannya di seluruh dunia, dan yang terpenting di Asia Timur.
Gambar 1. Tanaman Juwawut
Juwawut telah diketahui sebagai tanaman sereal sejak lama (5000 SM di Negeri China dan 3000 SM di Eropa). Sekarang, juwawut telah ditanam diseluruh dunia dan menjadi jenis yang paling penting di Cina, India dan Eropa bagian tenggara. Di Asia Tenggara, jenis ini hanya ditanam sewaktu-waktu dalam skala kecil.
Tanaman juwawut termasuk tanaman keempat setelah padi, gandum, dan jagung yang dikonsumsi oleh 1/3 penduduk dunia (Rachmawati dalam Suherman, dkk., 2010). Tanaman ini memiliki potensi yang sangat baik sebagai tanaman pangan alternative pengganti beras ditinjau dari aspek kandungan gizi serta kemampuan tumbuhnya di daerah beriklim kering. Dilihat dari segi kandungan gizinya, juwawut berpotensi sebagai sumber energi, protein, kalsium, vitamin B1, riboflavin (vitamin B2), sedangkan nutrisi lainnya setara dengan beras. Potensi hasil yang dapat dicapai di Indonesia adalah 4 ton per ha pada kondisi agroekologi yang marginal, dimana pertumbuhan serealia lainnya kurang berhasil. Juwawut dipanen sebagai tanaman pangan semusim (Rachmawati dalam Nurmala, 2010). Berikut ini merupakan tabel kandungan gizi berbagai jenis tepung dalam 100 gram bahan.

Pada biji juwawut, diantara kulit biji dan daging biji dilapisi oleh lapisan testa dan aleuron, Lapisan testa termasuk pada bagian kulit biji, dan lapisan aleuron termasuk pada bagian dari daging biji, jaringan kulit biji terikat erat oleh daging biji, melalui lapisan tipis yang disebut lapisan semen. Pada proses penggilingan, ikatan kulit biji dengan daging biji ini sulit dipisahkan. Komposisi bagian biji juwawut terdiri dari kulit luar 8%, lembaga 10% dan daging biji 82%. Warna biji ini merupakan salah satu criteria menentukan kegunaannya. Varietas yang berwarna lebih terang akan menghasilkan tepung yang lebih putih dan tepung ini cocok untuk digunakan sebagai makanan lunak, roti dan lain-lainnya. Sedangkan varietas yang berwarna gelap akan menghasilkan tepung yang berwarna gelap dan rasanya lebih pahit (Rachmawati dalam Laimeheriwa, 2010).
Mengingat begitu besarnya potensi dari juwawut untuk menjadi makanan alternatif pengganti beras, sudah selayaknya tanaman ini dibudidayakan. Namun sayangnya tanaman ini kurang mendapat  perhatian. Budidaya tanaman ini masih sangat rendah di Indonesia. Diharapkan masyarakat serta Pemerintah lebih memperhatikan keberadaan tanaman ini.




Daftar Pustaka
Rachmawati, Elly Eka. 2010. Peningkatan Viabilitas (Priming) Benih Juwawut (Setaria italica (L.) P . Beauvois) engan Polyethylene Glycol (PEG) 6000. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

Sholikhah, Fitri Wiwik., Susilowati, Novi Eka., Ikhwatika, Nurul. 2008. Pemanfaatan Millet Sebagai Bahan Pangan Alternatif dalam Upaya Menanggulangi Kelaparan Masyarakat Situbondo Jawa Timur. Malang : Universitas Islam Negeri Malang.

Hallo Hallooo

Hallooo Halllooo......

aaaa....... ini pertama kalinya loh aku nulis di blog... >< hmmmm sedikit norak sih emang.... heheee
yasudahlah yahhh gakpapah.... *ngomongsendiri*

emmmm di edisi pertama nulis blog ini aku mau menyapa para blogger seantero jagad raya ini..
HALLO HALLOOOOOOO SEMUUUUAAAAAA........

aku jugaa mauu sedikit menjelaskan nih tema yang akan mengisi blog "INI KARYAKU".. yupp berhubung aku tuh pecinta pangan bangetttzzz.. aku pengen menghiasi blog ini dengan artikel ataupun essay ataupun paper terkait pangan....aku inginnn mengupas apapun terkait pangan....

Okee cukup sekian salam pembuka dari aku semoga bermanfaat... ^^